Sabtu, 22 November 2008

Ketika Aku Menjadi Guru

Guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Kata-kata yang selalu ditanamkan pada kita sejak kita masih TK sampai sekarang. Yang jadi pertanyaan krusial adalah, benarkah itu?. Tampaknya kalau melihat kenyataan sekarang ini kita perlu mengkaji ulang slogan itu. Mungkin memang sudah saatnya guru diberi tanda jasa, agar guru-guru yang memang tidak punya jasa tapi mengaku pahlawan itu mendapat pelajaran .

Mengapa pernyataan yang bernada sinis bahkan langsung menyebut nama ini keluar? Tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan akumulasi kekecewaan saya melihat kiprah dan perilaku guru-guru di SMAN 5 Surabaya . Hanya sedikit sekali guru yang betul-betul menjalankan perannya sebagai pendidik untuk membimbing murid-muridnya dan mengajarkan mereka untuk dapat membedakan yang baik dan yang benar. Selebihnya hanya setara bahkan lebih hina dari tentor di LBB semacam SSC atau Ganesha Operation.

Kasus terakhir dan yang memang hampir terjadi setiap tahun dapat dilihat dari penyelenggaraan invitasi olahraga antar sekolah se-jawa Timur bernama “Smala Cup”. Bayangkan saja, pada even yang berskala provinsi ini, partisipasi guru hampir tidak ada. Mereka tidak datang mendukung saat anak didiknya bertanding, mereka tidak memberi dorongan moral saat panitia mengalami masalah, dan yang paling parah, mereka justru menghalang-halangi panitia yang berusaha melakukan tugasnya. Justru untuk acara-acara yang sifatnya “komersial” (baca murid diwajibkan membayar) mereka tega memaksa murid-murid untuk mengikuti dengan berbagai macam ancaman. Kalau mereka hanya digerakkan oleh uang, lalu apa bedanya guru-guru dengan tentor LBB?. Belum lagi kalau kita melihat bagaimana kecenderungan sebuah sekolah untuk selalu memaksa muridnya untuk berprestasi di bidang akademik dan sama sekali menutup mata terhadap prestasi non akademik.

Melihat fenomena tersebut memang kompleks, karena itu yang bisa saya harapkan hanyalah agar setidaknya janganlah ditanamkan pada anak-anak atau murid bahwa guru itu adalah “pahlawan tanpa tanda jasa“. Tanamkanlah pada anak-anak atau murid agar mentasbihkan atau memberikan “tanda jasa” versi mereka sendiri kepada guru yang memang punya jasa atau layak jadi pahlawan. Kalau hanya mengajarkan Matematika atau Fisika tanpa proses pendidikan lebih lanjut, sembarang orang juga bisa asal ada literaturnya. Bahkan tentor-tentor LBB mungkin jauh lebih mampu daripada guru-guru konvensional. Bahkan kalau perlu guru-guru semacam itu sebaiknya dipecat saja.